Minggu pagi ini kumulai dengan bangun agak siang karena mataku yang baru bisa terpejam sekitar pukul setengah empat dini hari.
Sebagai orang yang belakangan ini menjadi kaum morning person, aku cukup menyayangkan hal ini bisa terjadi. Untung saja tak ada aktifitas apapun hari ini selain bersantai menikmati hari libur yang sebenarnya tak pernah ada libur bagiku. Kepala selalu saja berisik; berpikir ini dan itu, ingin melakukan hal ini dan itu demi menghadirkan pundi-pundi materi yang kian hari semakin menipis.
Seperti yang pernah kukatakan di threads, aku coba konsisten menulis di blog dan bercerita tentang hal apapun itu. Mengembalikan kebiasaanku belasan tahun lalu; yang menulis untuk menumpahkan apa yang ada di dalam kepala juga hati; demi kewarasan diri.
Sudah lama aku tak bisa mendapatkan tenang dalam menulis. Ini benar adanya. Itu semua terjadi karena aku telah menjadikan menulis sebagai profesi, bukan hobi.
Analoginya sama seperti seorang penyanyi yang hampir setiap hari bekerja menjual pita suaranya, menghibur orang-orang, kemudian di hari libur dia diajak oleh teman-temannya pergi ke tempat karaoke untuk bernyanyi bersama. Jelas tak lagi terasa feel-nya, selain hanya merasakan keseruan saja. Sama seperti seorang dokter otopsi yang setiap hari melihat tangis anggota keluarga yang meninggal, empati perlahan tergerus karena sudah terbiasa melihat hal-hal seperti itu.
Oke, analoginya sudah mulai tak nyambung.
Selain itu, menulis hal-hal yang kualami sehari-hari barangkali bisa menjadi kenang yang suatu waktu bisa aku baca di kemudian hari; mengingat-ingat masa lalu yang mungkin akan kulupakan detailnya ketika ingatanku mulai merapuh.
Tak hanya itu, menulis jurnal ini juga sebenarnya kudedikasikan untuk kamu-kamu yang tetap setia membaca semua tulisan-tulisanku. Iya, kamu kerabat-kerabatku yang masih betah menjadi kerabatku sampai detik kamu membaca ini. Kuharap melalui jurnal ini, kita bisa tetap terikat dan terus saling mengingat.
Tak banyak kegiatan yang kulakukan hari ini. Siang menjelang sore, aku keluar mencari makan siang sekaligus merapel sarapan pagi yang terlewat.
Setelah mengisi penuh perut yang tadinya kosong, aku kembali ke kos, menikmati hari minggu yang cerah ini dengan melihat ikan di dalam kolam (jangan pake nyanyi, please). Tak lupa juga kuhisap asap dari pembakaran sebatang tembakau yang bercampur cengkeh itu demi mengundang tenang dari segala gelisah yang kurasakan.
Tiba-tiba saja terbesit pikiran membuat video random untuk kuposting di instastories instagram. Kemudian, terbesit lagi pikiran tuk membuat video bacotan setelah melihat fenomena begitu banyak orang-orang bercentang biru dengan membayar biaya langganan sebesar Rp130.000,-
Tak ada masalah sebenarnya. Mau mereka beli centang biru atau tidak, kan bukan urusanku juga. Aku hanya sedikit tergerak untuk membuka pikiran orang-orang kalau centang biru itu hanya sekadar icon yang tak harus dimiliki oleh semua orang. Untuk apa berlangganan centang biru kalau hari-hari masih saja mengeluh perihal hidup yang penuh kekurangan?
Kalau mereka kaya dan tak masalah berlangganan centang biru, ya silakan saja. Seperti yang aku bilang, bukan urusanku juga. Tapi, kembali lagi, niatnya untuk apa sih? Untuk mengejar validasi manusia yang tak akan dibawa mati? Demi terlihat keren dan edgy? Ya, enggak apa-apa juga sih. Tapi, ingat, validasi itu hanya sementara saja. Kalau hanya fokus mengejar validasi sampai lupa kalau ada hal lain yang mesti dilakukan, kan itu salah juga.
Inikan bukan tentang centang birunya, tapi tentang siapa orangnya. Kalau kita bukan siapa-siapa tapi sengaja centang biru demi dianggap siapa-siapa, ya nggak bakal berpengaruh juga. Ujung-ujungnya cuma jadi bahan ghibah orang lain.
Jadi daripada fokus pada ornamen-ornamen demi meraih validasi, lebih baik lakukan apa yang bisa memunculkanmu kepermukaan dengan hal-hal yang berprestasi; dijalurnya masing-masing tentunya. Misal kamu musisi, terus ciptakan lagu-lagu meski belum ada yang akan mendengarkannya. Jika kamu pekerja biasa, lakukan pekerjaanmu dengan sebaik-baiknya sambil memikirkan jenjang karir yang masih sesuai dengan jalan yang sedang kamu tempuh.
Media sosial ini akan jadi penyakit bila kita tak berhati-hati. Ia bisa membuat kita larut pada perasaan haus validasi manusia yang sebenarnya juga enggak peduli dengan apa yang kamu lakukan. Jadi, ya, bukankah mending kita fokus pada tujuan hidup kita daripada fokus untuk membuat takjub manusia lainnya?
Anjay, bijak sekali aku hari ini.
Oke, karena sudah terlalu panjang, dan aku takut bikin matamu yang indah itu lelah memandang layar handphone, kusudahi saja tulisanku kali ini.
Sebelum menutup tulisan ini, aku ingin berdoa semoga ada banyak hal-hal baik yang akan terjadi dalam hidup kita; hari ini, esok, dan seterusnya. Ada amin? Ada dong, ya, harusnya!